MY EXPERIENCE WITH PSYCHORIENTOLOGY

.

My special comment on the Silva system as it originally has been invented as “the Science of Psychorientology”

 

Dear Silva Community,

It has now been for nearly 31 years that I had decided to follow Jose Silva’s footsteps in spreading the word of his amazing and awsome invention. According to his ‘Special Message’ that those who were following his idea for a better world to live in, we all are responsible for our contribution to mentioned idea.

We have to be an ‘ancor’ for them who has had their convidence developed to also spread Silva’s invention into their own surroundings. Being an ‘ancor’ as it has to be, isn’t easy, I know that this attitude needs a lot of knowledge about ourself in first place, knowing our shortcomings that should be ‘eliminated’. It is not necessary to follow our ‘emotions’ according to circumstances that affect us without huge awareness.

The ‘Almighty’ has Created us in fact as a ‘perfect’ human being so to say. It has given us the means to handle that perfection. It teaches us also the border between good and bad. Education on those habits wasn’t sufficient enough in the past that in fact was the responsibility of our parents and forbears.

But at that time there wasn’t such kind of knowledge and education, so we couldn’t blame them of their shortcomings. Where comes the ‘wisdom’ from that had supported Jose Silva to find out about mentioned perfectness? Now we know that it was coming from ‘the other side’ …. The ‘subjective side’ we all live in, and where we all are coming from and returning to it. We were Created as perfect as the Almighty has done it and also had Created a Univers in two big dimensions, the ‘Macro’ and ‘Micro’ phenomenon. Some individuals has made what is simple being difficult to accept with their own perceptions, isn’t it?

When human being could have the ‘wisdom’ of mentioned science and also deepening their knowledge in this material I know for sure, that there will be PEACE, HARMONY, SECURITY at all kind of performance levels. This IS the ideal place to live in as Jose Silva had in Mind.

Now, it IS our responsibility to reach that goal in spite of the world situation as it is at this very moment. I’m huge convinced when we could do it at a ‘collective base’. A base of focussing on ONE ‘Imagination’ and ‘programming’ for a better place to live in for the next ‘Generation’. Isn’t it worth to fight for such idealism?

In my opinion,  we have to focus on the BIG events and not only on our individual aspirations. Of course after having made our shortcomings ‘Eliminated’ forever…….!,  and to have a huge control of our habits to direct it to the right ‘positive’ direction.

I was really ‘perplex’ that a man, full of spiritual inside, the Dalai Lama, had the same idea as Silva did. We were divided by things like ‘religion’ , ‘political ambitions’ , ‘aspirations’ that isn’t the right aim to be fulfilled, that wasn’t supported by our ‘Inner Peace’. We were too selfish and doesn’t give chances to others to be also ‘Enlightened’ as such.

Of course it’ll be NOT EASY, but when our imagination is at that performance, it WILL actually happen. Money has made us anxious, jealouse, greedy, suffer if it is used on an unbalanced performance. Individualism isn’t the ‘Right’ performance to be inhabited and induced into our ‘subconscious kingdom’. Be always simple, be yourself, be social minded and be always at a ‘Low Profile’ and don’t ‘Show off’.

Many people has given me the name  ‘Father of the Silva Method Education’ in Indonesia. Flattered?…..Not for me, because I didn’t have results I’m longing for. We have to go forth but NOT individually. One-ness of a well constructed ‘imagination’ in order to a huge change of the ‘chaotic bubbles of Vibration’ into the atmosphere, is an important suggestion that I could propose to you my friends.

Don’t too much being focussed on the money that has made all of our endeavours a ‘commercial tint’. Jose has said in his ‘specmess’ that we’ve to know exactly what we need and a ‘little’ bit more……the rest has to be invested in them who were NOT lucky to have a better life’ Are we doing this at this moment??? I’m not certain yet, but through thorrough investigation with our ‘sensitive intuition’ and digging into our emotions by meditation, we will come to the true answer. I’m huge convinced about this.

Well, I think that I could tell a lot more, but let me stop for now and let you contemplate on your inner habits. We all have been influenced by the economical awful situation and are indeed in need of money. But it has to come from a ‘positive’ source, because ‘money’s Aura’ at this moment has been induced by awful corruptive deeds that seems very difficult to erase from the Mind. You can’t wash money with ‘soap and water’ so to say. A spiritual influence has to be created within us to act accordingly.

As to my experiences with the ‘amazing’ invention of Jose Silva I think I had already sent some time ago  what seems to be very spectacular, and also with health cases that I’ve done  with myself and any others through ‘energizing water’ with the technique like “Glass of water” and other techniques that has to be huge implanted and making it a “Servo Mechanism” forever.

Be Well all of you and don’t make Psychorientology a science that couldn’t be understood as such with a lot of modifications. I’m in close contact with several still active and ex-lecturers of the Silva Method that has the same vibration I produce it myself.

 

Hugs and Love,

And for a better world to be programmed.

Lasmono Abdulrify Dyar.

KONDISI NEGARA SAAT TERKINI

SPIRITUALITY  AKAN  MEMBAWAKAN  DUNIA   KEMBALI MEMPUNYAI  PER-ADABAN.

 Pembahasan ini akan membawakan ke-‘Cerahan’ berfikir yang pada saat terkini sangat diperlukan. Dengan adanya banyak pertengkaran, salah penerimaan, berbeda percepsi serta penterjemahan suatu informasi dan pendapat, kita sangat memerlukan keadaan yang ‘kondusif’.

 Ditinjau dari adanya banyak pandangan yang berbeda yang menyangkut adanya suatu ‘Sistim’ bagaimana seharusnya hidup. Hendaknya kita bersedia untuk ‘Meninjau Kembali’ keadaan yang telah lama dialami sejak beberapa puluh juta ‘Dekade’. Kita telah terbiasa dengan kondisi seperti itu dan merasa sulit untuk mengubah situasinya karena tidak mempunyai kemampuan telak atau ‘Signifikan’ pada diri sendiri.

 Pada saat ini baik orang awam maupun yang pintar serta berkedudukan sosial tinggi dan kekuasaan, berada pada suatu tingkatan ‘Jiwa’ yang penuh dengan ‘kanker’. Betapa tidak. Segala sesuatu yang kini sedang berkembang mempunyai perwujudan yang sifatnya ‘Serakah’.

 Seorang cendekiawan asing pernah menyatakan, bahwa dunia sudah lama mempunyai budaya serakah itu, yang katanya diperlukan untuk maju berupa saingan. Hanya memikirkan diri sendiri serta keluarga dekat di dalam menjaga kesejahteraan, tapi tidak mempunyai perhatian diluar lingkungan tersebut. Yang dapat diharapkan hanya beberapa gelintir orang saja dan tidak mendapatkan penghargaan serta perhatian .

 Hal ini timbul dan dirasakan dimana-mana serta mempengaruhi seluruh lingkungan terbatas dimana kita mengharapkan suatu ke-Hidupan yang wajar serta mengikuti ‘Urut Duduk (hirarkhi) Takdir’ yang telah diatur dan ditentukan oleh Alam Semesta sejak ter-Ciptakan oleh ‘Kekuatan Makro Kosmis’. Kian banyak kini terungkap yang menyangkut ketidak Se-“Imbangan” dari cara berfikir dan bertindaknya manusia.

 Ketidak seimbangan tersebut akan pasti mempengaruhi cara berfikir semua manusia yang hidup di dalam batas-batas ‘Atmosfir’ yang menyelubungi planit dimana kita tinggal. Merupakan ‘satu-satunya’ tempat kita bernaung dan mencari pengalaman pada ‘Dimensi’ ini yang disebut juga ‘Dimensi Obyektif’ yang mempunyai tiga ukuran, yaitu ‘panjang, lebar dan tinggi’.

 Makin manusia berkembang, maka kepintaran serta visi keleluasan akan ‘Ikut’ berkembang tanpa dapat dibendung oleh adanya pemikiran yang lama atau kuno dan tidak sesuai lagi pada perkembangan baru tersebut. Sebagai manusia dengan sifat ‘Inividual’ kita harus sadar, bahwa kita tidak dapat menyendiri dan hidup se-‘Mau’ kita.

 Kita harus dapat menyesuaikan diri dengan adanya lingkungan ‘Global’ yang kini memperluas pandangan pengaruhnya karena adanya informasi yang dapat diraih melalui ‘Internet’ yang demikian luasnya. Hanya saja informasi tersebut, harus dapat diwaspadai melalui suatu pengamatan yang ‘peka’ dan canggih-intuitif, berarti mempunyai ‘Visi’ atau ‘Pandangan’ yang sangat luas dan tidak kerdil.

 Kekerdilan ini mempunyai sebab, karena kini telah dapat difahami benar, bahwa kita hanya ber-Fikir dan ber-Tindak dengan separoh dari kemampuan manusia, yaitu hanya mengaktifkan perangkat ‘Otak Bagian Kiri’ saja. Sedang bagian lain, yaitu ‘Otak Bagian Kanan’ belum pernah secara umum dikembangkan serta digunakan sebagaimana seharusnya.

 Kemampuan pengelolaan berfikir pada Otak Bagian Kanan ini masih banyak sekali yang dapat diwujudkan dan di-fungsi-kan. Bagian inilah yang tidak pernah terkena ‘pembiusan’ pada saat kita sedang meraih kesegaran kembali melalui ‘Tidur’ dengan segala tingkatanya.

 Kita telah terobsesi dengan adanya kenyataan-kenyataan yang ditangkap melalui indra-indra Fisik. Tapi kita tidak mengetahui bahwa kita dapat juga berfungsi dengan indra-indra diluar keaktifan tersebut. Indra-indra tersebut berfungsi melalui kemampuan Otak Kanan dan dapat me-rasa, -lihat, -ngecap, -sentuh serta –dengar.

 Hal ini adalah kesempurnaan yang dianugerahkan oleh Yang Maha pen-Cipta (Kekuatan Makro Kosmik). Bila kesempurnaan tadinya telah dapat difungsikan sebagaiman seharusnya, maka kondisi pada planit kita akan sangat berbeda dan jauh lebih ‘Positif’.               (dilanjutkan)

 

 

WATCH THIS PHENOMENON

ANTARA JANJI DAN KENYATAAN TERDAPAT PERBEDAAN

YANG JAUH YANG ADALAH HAL NEGATIF

 

Marilah para pembaca, penulis ajak untuk mengamati suatu tindakan yang dinamakan memberikan “Janji” positif, dengan maksud akan ditepati, dan “Janji” yang hanya merupakan iming-imingan, yang dari semula sudah diniatkan untuk tidak ditepati. Kebanyakan diantara kita memang menganggap memberikan suatu janji itu sebagai  suatu hal yang bisa diharapkan dari suatu usaha meraih kepercayaan seseorang. Dalam memberikan janji itu, tidak terbersit dalam benaknya adanya suatu “Tanggung Jawab” mengenai apa yang diangankan itu. Disinilah sudah akan dapat pembaca lihat, betapa ketidak mampuan kita untuk dapat “mendeteksi” suatu harapan adanya perwujudan dari janji tersebut .

 

Hal seperti itu, jelas merupakan melaksanakan dusta serta penganiayaan terhadap seorang, yang karena ada janji itu, mengharapkan perwujudannya. Janganlah menganggap enteng memberikan suatu janji kepada siapa saja, karena bila suatu janji tidak diikuti dengan kenyataan, maka kepercayaan seorang kepada kita, yang memberikan janji itu, akan mengalami kekecewaan yang dampaknya tidak akan dapat kita ketahui dengan jelas.

 

Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda dari informasi yang ditangkapnya, dan termasuk suatu janji dari kita, misalnya. Ucapan suatu janji, pada umunya masih belum ditanggapi dengan serius mengenai dampak keleluasannya dan hubungannya dengan Hukum Alam dengan getaran timbal baliknya. Dengan lain kata, bila kita ucapkan suatu janji kepada seseorang, kita harus sudah mengetahui dengan pasti, bahwa janji itu dapat ditepati. Janji yang “kosong” sering kali terjadi, dan memberikan masalah kepada yang memberikan tanpa sebenarnya mengetahui, mengapa dihadapkan kepada masalah yang bersangkutan dengan janji itu.

 

Secara kebiasaan, lalu dikatakan “mudah-mudahan” janji itu dapat dilaksanakan bila situasi dan kondisinya sesuai atau dapat menunjangnya. Kita terbiasa dalam hal ucapan ini, karena takut mendahului Yang Maha Mengetahui. Dalam hal pemberian janji itu, pada hakekatnya, Yang Maha Mengetahui tidak akan ikut campur, karena kita telah di-Ciptakan dengan perlengkapan yang sempurna, antara lain mampu mengadakan “deteksi” adanya kenyataan yang mendukung pemberian suatu janji. Hal itu hanya mencari alasan supaya dibebaskan dari unsur “tanggung jawab” yang sudah pasti akan dipantau oleh Hukum Alam. Seharusnya janganlah kita gampang mengumbar janji, kalau tidak dapat mendeteksi adanya kemungkinan untuk menepatinya. Orang yang konsekwen dalam menepati janji, sudah mengetahui dengan pasti, bahwa ia akan mengadakan perwujudan dari janjinya itu.

 

Ke-seriusan dalam hal mencetuskan suatu janji ini, merupakan kelemahan pendidikan moral dan etika yang telah dialami seseorang pada pendidikan dini, yang menyangkut akhlak, dari orang tuanya. Untuk menghentikan renge’an anak, misalnya, orang tua suka memberikan janji yang palsu dengan niat, hanya untuk memindahkan fokus harapan seorang anak yang sedang rewel menyangkut keinginan anak itu yang tak dapat dilaksanakan oleh orang tua. Hal seperti itu belum ditanggapi secara serius, serta dapat melihat dampaknya pada anak secara psikhologis. Apapun yang kita ucapkan berupa janji dan lainnya, akan “pasti terekam” pada neuron-neuron Pust Pikir dan akan tinggal disitu selama hidup kita. Percayakah para pembaca akan kenyataan ini ? Melalui hypnosis, hal apa saja yang terdapat pada neuron-neuron Otak, pasti dapat dikenali serta diketahui kembali. Hal itu menandakan adanya gejala frustrasi yang bakal meningkat kepada kondisi stres, bila tidak diantisipasi.

 

Semua orang tua, tidak ada kecualinya, pasti telah melaksanakan janji-janji pada putra-putrinya yang suatu ketika tidak dapat ditepati. Dengan senyum dan tawa hal keseriusan itu dicoba untuk dihapuskannya. Tapi, para pembaca, menurut penyelidikan mengenai hal perekaman suatu peristiwa pada Otak, sudah ditemukan bukti-bukti emperis, bahwa gambaran suatu kejadian yang telah terjadi dan yang bakal terjadi, dapat direkam secara dalam pada neuron-neuron Otak. Efek negatifnya kita alami seumur hidup, bila didalam perjalanan melaksanakan langkah-langkah kehidupan kita, selalu berhadapan dengan hadangan-hadangan yang merupakan masalah, baik itu besar maupun kecil.

 

Seorang anak yang selalu dihadapkan pada ketidak seriusan untuk menepati jani, akan berkembang dengan rasa ragu dan bimbang menghadapi masyarakat diluar keluarga. Apakah tidak seyogyanya kita kini mengantisipasi kejadian itu yang bisa saja terjadi dilingkungan keluarga masing-masing ?Adayang sudah terlambat, tapi ada yang masih bisa memulai dengan suatu pendidikan yang ideal. Kekuatan iman pada anak, tidak dapat diharapkan dari ikut campurnya orang lain diluar keluarga. Bila ada keluarga yang memang sudah semrawut dari sononya, sudah pasti tidak akan mungkin menuntun seorang anak pada kedewasaan yang bebas dari adanya masalah.

 

Adayang menyatakan, bahwa kita sebagai manusia sudah akan selalu mempunyai masalah, tapi tidak dapat menjelaskan dengan tuntas, mengapa masalah itu ada. Masalah dapat bersumber pada diri sendiri dan juga pada provokasi luar yang ditimbulkan oleh lingkungan. Dalam kedua sumber itu, hanya seorang yang mempunyai kepekaan atau intuisi tinggi, yang mampu mendeteksi dimana sebenarnya sumber yang menjadikan penyebab masalah itu serta bisa rela menerima hukumannya yang merupakan peringatan dari pantauan Hukum Alam yang demikian sempurnanya dan tak akan mungkin bisa dicampuuri oleh pemikiran manusia. Keleluasannya sudah terbukti sangat tepat dan sesuai dengan perbuatan negatif yang merupakan akibat dari suatu tabrakan dengan ketentuan dan keteraturan dari Hukum Alam tadi.

 

Ditinjau dari kemungkinan-kemungkinan seperti yang dijelaskan diatas, kita akan lebih terjaga dari adanya masalah, bila tidak melaksanakan atau memberikan suatu janji, bila kita sendiri tidak mampu menepatinya. Secara global saja, cara memberikan penepatan janji-janji diseluruh dunia tidak menunjukan keseimbangan yang diperlukan, yang sesuai dengan gambaran dalam memberikan janji itu, sehingga hasilnya akan selalu menimbulkan masalah. Apakah hal itu sudah tidak lagi diketahui ataukah diketahui, tapi tidak diindahkan sama sekali dan takut pada pertanggungan jawabnya ? Dal hal itu selalu akan mencari suatu “pembenaran” dari kealpaan menepati janji dengan alasan-alasan yang tidak pernah tepat, serta ketidak mampuan “melihat” pada masa mendatang dalam penentuan “waktu kematangan” yang diperlukan dalam setiap pelaksanaan tindakan yang ducetuskan dari pola pikir manusia ?

 

Antara janji, penepatan dan tanggung jawab, terjalin suatu penyatuan yang tak dapat dipisahkan. Orang yang intuitif dan tahu apa yang akan dikemukakan dalam menyatakan suatu janji, tidak akan gegabah untuk memberikan pernyataan akan menjanjikan sesuatu, hanya untuk menyenangkan hati seseorang. Memberikan janji dan tidak dapat menepatinya bisa ditanggapi sebagai suatu tindakan penipuan. Kesepakatan untuk berjanji dan menepatinya seharusnya ditinjau dari dua sisi, yaitu pihak yang memberikan janji dan pihak yang dijanjikan sesuatu serta mengharapkan janji itu dapat dipenuhi sesuai dengan ucapannya.

 

Disinilah kita dapat menemukan adanya kelemahan manusia yang menjadi suatu kebiasaan yang berkonotasi negatif. Hal seperti itu akan mempengaruhi atmosfir serta pikiran-pikiran manusia lain, sehingga memilah masalah-masalah yang ditimbulkan oleh adanya pengaruh itu, akan sangat sulit dan akan memerlukan waktu lama untuk mencari penyelesaiannya. Penulis dapat merasakan hal itu, ibaratnya, pada zaman komputer masih dalam pengembangan pertama, bahasa instruksi yang digunakan harus selalu diteliti dan diulangi penelitian itu dalam menjaga kelancaran pelaksanaan mengatur jalannya suatu “orgware”. Bila terjadi suatu kesalahan dari instruksi-instruksi tadi, maka mencari kembali dimana letaknya kesalahan itu, akan memakan waktu yang sangat lama dan tidak seimbang lagi dengan waktu yang diperlukan untuk membuat “software”-nya.

 

Perumpamaan seperti itu, dalam zaman yang disebut canggih, sudah dapat dihindari dan setiap pengguna komputer kini kebanyakan hanya dalam bidang operating saja, semua software telah disiapkan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang software tersebut. Pelanggaran-pelanggaran yang dilaksanakan oleh banyak perusahaan yang melaksanakan pembajakan, belum terkena dampak dari aturan-aturan yang menjaga “copy right”. Hal itu belum menjamak negara kita. Bila terjadi hal tesebut dalam “era globalisasi”, bahwa akan diadakan penelitian oleh sumber-sumber yang asli, maka pasti banyak perusahaan pembajak akan harus gigit jari.

 

Didalam meniti karier seseorang, kita akan selalu menjumpai ketidak jujuran dalam memberikan janji-janji. Hal itu sudah menjadi sesuatu yang “lumrah” bagi kita, bangsaIndonesia. Seakan-akan kita tidak ingin meningkatkan diri kita pada suatu keadaan dalam kondisi yang teratur dengan ketentuan-ketentuan yang setaraf dengan negara yang telah berkembang. Tapi, janganlah terlalu gusar, mereka memerlukan ratusan, bahkan ribuan tahun untuk membangun suatu konstruksi akhlak yang dapat menjaga suatu penyalah gunaan yang dapat menghancurkan kepercayaan umum. Karena itu timbullah usaha adanya “social security” yang berlaku bagi semua warga, dan tak ada perbedaan antara yang asing dan pribumi. Persyaratannya hanya mempunyai hubungan ekonomi yang jelas dengan situasi di negara dimana orang asing itu tinggal. Penulis secara tuntas telah mengalami kenyataan itu dan mungkin akan menyesali kembalinya ketanah air, bila tidak mempunyai jiwa perjoangan yang diwariskan oleh turunannya.

 

Manusia pada umumnya berkeinginan, untuk mendapatkan suatu hasil tanpa terlalu banyak melaksanakan usaha kearah keberhasilan itu. Bila mungkin, akan selalu dicarinya alternatif, bagaimana caranya untuk mendapatkan apa yang diangankannya itu melalui jalan pintas. Oleh karena itu ia rentan sekali dalam memberikan janji-janji dan akan mencari pembenaran, bila suatu ketika akan berat baginya untuk menepati janji itu. Apakah Anda termasuk individu semacam itu ? Setelah mengikuti ulasan ini, penulis harapkan untuk dapat merubah perilaku kita, karena bila masih saja mempertahankan sifat itu, akan menghadapi tantangan berat seumur hidup dengan risiko-risiko yang merupakan timbal balik dari Hukum Alam yang di-Ciptakan oleh Yang Maha Kuasa.

 

Lebih baik kita berusaha keras kearah menepati janji yang dengan sungguh-sungguh telah dipertimbangakan secara masak dan memperhitungkan dampaknya bila akan terjadi pengingkaran dan berani bertanggung jawab atas ketidak mampuan itu, daripada kehilangan muka dan yang paling penting adalah “kepercayaan” yang telah dilimpahkan kepada diri kita, yang biasanya dilaksanakan tanpa perhitungan dan analisa. Kepercayaan itu sulit diraih kembali bila telah “cacat”.

 

Pengingkaran janji-janji yang dilaksanakan oleh anggota-anggota terhormat dari DPR dan MPR (tidak semuanya, hanya persentasenya terlalu kecil untuk dapat mempengaruhi yang bathil) menimbulkan cacat kepercayaan itu, dan akan terus berlangsung sampai saat terjadi suatu pergantian total dengan yang baru. Untuk itu penulis, bila didengar, mempunyai solusi yang jitu dengan penemuan canggih dari Silva dan Sean Adam. Dengan kombinasi kedua lembaga itu, maka dapat diharapkan, bahwa yang negatif bisa menjadi positif dan dapat mempertahankan kepositifan itu dengan jangka waktu lama. Ini diperlukan sekali oleh kita bangsa Indonesia yang sudah tidak sudi lagi di-“devide et impera” atau “dipecah belah”, dulu oleh bangsa Belanda, tapi kini oleh bangsa lain beserta antek-anteknya, ialah bangsa kita sendiri.

 

Dipersembahkan oleh: H.Rd.Lasmono Abdulrify Dyar, Ir.IT,PhD,Psi

 

Use your ‘Unconscious’ to make decisions

 

Applied ESP: Managing and problem solving with the aid of the ‘unconscious’

 

 

 

by John Mihalasky

Professor Emeritus of Industrial Engineering

Director, PSI Communications

New Jersey Institute of Technology

Newark,NJ

     In the last few years it has become increasingly difficult for business and industry to stay competitive. Critics charge that there is too much reliance on “short-term thinking” and on the fear of taking risks.

With more data being generated by more and more computers, there has been a tendency to slip into a posture of “managing by the numbers.” The emphasis has been on the use of rationality and logic in problem solving and decision making – operations research, management science, modeling, and the development of computers that “think.”

Unfortunately, all this has given us more and more incorrect, invalid, and/or unreliable data, faster, to make decisions whose outcomes have been correct about as many times as when we made decisions by holding a wet finger up to the wind.

It is my contention that this state of affairs is due to the fact that not enough has been done to investigate the application of non-logical, non-rational, unconscious thinking. We have spent most of our time on rational, logical, conscious thinking and it is (has been for a long time) necessary to delve into the use of the unconscious.

The purpose of what follows is to explore the basis for the use of the unconscious – ESP, if you will – in the problem solving and decision making process.

Problem solving & decision making   

     A decision is loosely defined as a choice between alternatives, that results in an allocation of resources – money, personnel, time, etc.

There are good decisions – good in the sense that they were logically made – and there are also good outcomes. The assumption is that a good decision will lead to a good outcome.

Decisions are made from the considerations of objective data classed as certainties, and objective and subjective data classed as uncertainties. The manager – using the word in its broadest sense – is constantly faced with the integration of uncertainties with certainties, to make decisions.

The manager is thus, by profession, a decision maker, and is constantly faced with the integration of certainties with uncertainties. However, these professional decision makers are very frank about their inability to explain and analyze their acts of decision.

Former General Motors President Alfred Sloan, commenting on the company’s founder William C. Durant, characterized him as a man who “would proceed on a course of action guided solely, as far as I could tell, by some intuitive flash of brilliance. We never felt obliged to make an engineering hunt for the facts. Yet at times he was astonishingly correct in his judgments.”

Now, half a century later, in this age of computers with their realms of data, of impressive charts, graphs, decision trees, and probabilistic and statistical technology – of reliance on the quantitative – it is becoming more and more difficult for many executives to live with, much less acknowledge, the fact that a great many of their important decisions are, as Durant’s seemed to be, intuitive. There seems to them to be something unscientific, unprofessional, about “flying by the seat of one’s pants,” acting on what seems to be little better than hunches or instinct – at least, so these executives believe. Therefore, they do not often discuss it.

Yet, the higher a person rises and the more complex their decision process, the more incomplete the support evidence available to them is, and the more intuitive their decisions must become.

At positions low in the organization hierarchy the decisions are delineated, limited, and repetitive. At the highest levels, assuming the practice of the Exception Principle, decisions are very broad and have much more to do with future events. At the lower levels, the decisions are less complicated, based on more reliable and objective data, and less costly if a mistake occurs.

At the higher levels, they get very complicated, have to be based more on suspect, unavailable, and/or non-existent data, and often carry a large dollar sign on them. Therefore, the pressure is greater at the top to make profitable decisions.

The decision makers of the future will find themselves making decisions involving even more considerations than are present today.

Classifying decisions

 

To try to better understand the decision making process, H.A. Simon classified decisions into programmed and non-programmed.

The programmed decision is repetitive and routine, has a definite procedure worked out for it, and does not call for a novel approach each time a problem comes up.

The non-programmed decisions are novel, unstructured, have no “cut and dried” method for handling the problem, and call for intelligent adaptive and problem oriented action when solving the problem. He further notes that the traditional techniques for these Non-Programmed Decisions are judgment, creativity, and intuition.

C.I. Barnard categorizes decisions into logical and non-logical.

Logical decision making involves conscious thinking and reasoning, and the process is expressible in words or other symbols.

Non-logical decision making is not capable of being expressed in words, or as reasoning, and is made known only by the action itself. He feels that this may be because these decision making processes are unconscious ones.

The basis for decisions

     The categorization of decisions raises the question of when each type is utilized.

The answer to the question is that it is the type of data or information available to the decision maker that determines what category of decision making will be used.

Referring again to Barnard, materials for decision making can be classed as precise information, hybrid information (data of poor quality or limited extent, doubtful validity, qualitative, etc.), and information of a speculative nature (data not susceptible to mathematical or probabilistic expression, has uncertainties, difficult to ascertain, based on impressions, etc.)

F.I. Shartle states: “Most decisions are made on the basis of incomplete evidence. Facts may not be available, or there may not be sufficient time or staff assistance to uncover or assemble them. Thus, a good executive must be a good guesser. He must piece together the fragments of facts he has, and act accordingly. Some executives have reputations for being uncanny in making the right decision without apparent evidence.”

Bernard was also of the opinion that the large part of the data for decision making was of the non-precise variety.

All through the decision maker’s life, he or she has been taught to depend on facts and logic; but yet, the data used for decision making does not lend itself to the logical processes. Psychologists also tell us that most decisions are not based on a logical approach, but on an emotional basis.

There has been so much emphasis on the dependence of reason that the decision maker becomes afraid to trust his own judgment.

Ray Brown also mentions this problem in his book. He stated that people tend to be suspicious of decisions that arise from a person’s individuality. Thus, decision makers try to make everything look objective.

In reality, they make the decision, then look for the facts to support it.

He further comments that if decisions spring from the facts, the decision maker would not be needed because he would be a transmitter and contribute nothing.

Simon also noted the lack of an objective basis for decisions by stating that:

1. Regarding incomplete knowledge: “In fact, knowledge of consequences is always fragmentary.”

2. Since consequences lie in the future, imagination must supply the lack of experienced feeling in attaching value of these consequences.

3. Very few of the possible alternatives are available.

When the basis for a decision is precise, reliable, and objective, the methodology of logic and reasoning or the scientific method can be used.

However, the above indicates that such decisions would probably be made at the lower levels of the organization.

John McDonald was of the opinion that business executives make mostly repetitive and routine decisions. Some executives estimated that their routine decisions comprised up to 90 percent of all the decisions they are confronted with. Therefore, the novel or “true” decisions are infrequently made.

With the advent of the management sciences, and of the computer, a great deal of work has been done with data that is not so precise, reliable, etc. This methodology, given the title of Decision Risk Analysis or Cost/Benefit Analysis, is an example of such an approach. It is an approach that has been helpful to modern day managers.

Unfortunately, the advent of the management sciences and the computer also brought with it a renewed attempt to quantify everything. This has led the decision maker to forget that these techniques and tools were designed to aid in the collection and analysis of data but will not make the final decisions for him.

Ernest Weinwurm, in his 1960 American Society of Mechanical Engineers Report discussing progress in Management Science, decried the overemphasis on quantification of data, and the lack of attention given the decision maker.

R.E. Brown speaks of a “data addict” who sits in front of the computer waiting for decisions to come out. He further states:

“The top billing being given to scientific methodology in decision making is causing administrators to adopt increasingly an ’embarrassed to know you’ attitude toward intuition. Because intuition occurs in the absence of had facts, or ahead of the facts, it is being written off as being in the same company as the divining rod of the well digger and the tea leaves of the soothsayer. The inability of intuition to identify the specific facts with which it associates is causing it to be increasingly considered intellectually disreputable. However, it is just this facility for producing ideas of nebulous origin that makes intuition such an extremely able adjunct of the administrator’s judgment.”

It seems that non-logical, non-programmed decisions have been ignored. A methodology for them is not being developed with the fervor reserved for decision making under certainty, and under uncertainty and risk. If one looks at the writings in the field, the back of the book may say a little about decision making based on data of a speculative nature. Intuitive, or precognitive decision making is “persona non grata.”

How executives make decisions

     How do executives actually go about making their important decisions?

McDonald surveyed a few executives and found that “they are remarkably candid about their own inability to analyze the act of decision.”

A sample of the replies were:

Charles Cox, president of Kennecott Cooper says: “I do not think businessmen know how they make decisions. I know I do not.”

Charles Dickey, chairman of the executive committee of J.P. Morgan & Company says: “There are no rules.”

Benjamin Fairless, ex-chairman of U.S. Steel: “You do not know how you do it.”

John McCaffrey, president of International Harvester: “It is like asking a pro baseball player to define the swing that has always come natural to him.”

Dwight Joyce, president of Glidden Company: “If a vice president asks me how I was able to choose the right course, I have to say, ‘I am damned if I know’.”

TheNew Yorkreal estate and theater wizard Roger Stevens, reversing Thomas J. Watson’s famous maxim, says: “Whenever I think, I make a mistake.”

Fletcher L. Byrom, president and chief executive officer of Koppers Company, giving top executives advice, said:

“I have found that some of the most horrible mistakes we have made came after I ignored my intuition under the pressure of what looked, at the time, like unshakable evidence.”

In a personal letter to the author, the manager of the corporate economic planning division of a major oil company, who has been in the operations research field for about 12 years, wrote:

“I have been getting the unsettling feeling that many decisions are, and perhaps have to be, based on what I would call ‘gut feel’ or intuition.”

The Wall Street Journal of November 3, 1971, began a front page article on Charles G. Abbot, the retired secretary of the Smithsonian Institution, with the following words:

“Charles Greeley Abbot dreams things up.

“At two o’clock on the morning in July 1965, for example, Mr. Abbot awoke in his suburban bedroom to find that he had been dreaming about something that had not been invented yet. So he invented it. Then he went back to sleep.

“Things happen that way with Mr. Abbot, inventor and scientist and sage. Some of his best ideas came as dreams in the middle of the night.”

Based on both this and other written material, as well as a great deal of oral material gathered form discussions with executives, it does seem that executives do use intuition or precognition in their decision making process.

Today’s managers are paid to find and define problems. Analyze them, develop alternate solutions for them, decide upon the best of these alternates for each problem, and, finally, act upon these decisions.

In the main, these decisions have to turn out to be profitable ones, or the decision maker is forced to vacate his position.

The PSI Communication Project at the Newark College of Engineering has been conducting research into the phenomenon of precognition, and the nature of the precognitive maker.

There is now evidence to suggest that the successful “hunch player” may have something more solid going for him or her than the odds of chance.

Experiments that the author has conducted indicate that what the texts call “non-logical” (and what managers privately call “lucky”) decisions have some scientific – that is observable, dependable, and explainable – support.

The research project strongly supports the idea that some executives have more “precognitive” ability than others – that is, they are better able to anticipate the future intuitively rather than logically and thus, when put in positions where strong data support may not always exist, will make better decisions.

Moreover, a valid test has been developed for determining which people do, and which do no, have this ability.

The test consists of asking the participants to guess at a 100 digit number not currently in existence. Each of the 100 digits can take on any value from 0 to 9. The target that each participant guesses at is later generated by a computer using random number techniques. Each participant has his or her own specific target to guess at.

As expected, some people guess above the chance level of 10 correct guesses out of the 100 digits, while others guess at, or below, the chance level.

That some people score above chance on this test would, by itself, not prove they have precognitive ability. But the research has revealed some interesting and significant relationships between high scores on this simple guessing game and other kinds of data.

For example, participants are asked to rank their preferences among five metaphors (i.e. “a motionless ocean,” “a dashing horseman”) that have been adapted from a psychological test.

Based on their choices, the subjects are divided into “dynamic” and “non-dynamic” types. Admittedly, this is not a very sophisticated classification. But invariably, those classified “dynamic” by this relatively simple means, also tend to score above chance in predicting the computer’s random numbers.

In tests on 27 different groups, ranging from four members to 100, “dynamic” men outscored “non-dynamic” ones in 22 of the groups. Statistically, the chances of this happening by accident are fewer than 5 in 1,000. Many other groups were tested since this initial 27 groups.

But what does “dynamic” executive mean? Whatever it connotes, it also must be measured somehow by performance.

So four groups of chief operating officers of corporations, all of them in their present jobs at least five years, were asked to take the tests. These men had held office long enough to be responsibility for the reliability of their decisions and the recent performance of their companies.

The first two groups of chief executives who met the above criteria were divided into two classes – those who had at least doubled profits in the past five years, and those who had not, including some who had lost money.

Of the 12 men whose companies met the deliberately extreme test of double profits, 11 scored above the chance level on the computer guessing game. One scored at the chance level. Not a single one fell below chance.

Of the 13 who had not doubled profits, seven scored below chance, one scored at chance, five scored above chance. This last five had improved profits by 50 to 100 percent.

Of the seven who scored below chance, five had improved profits less than 50 percent. Only two of those who scored below chance had improved profits more substantially than that.

The chief executives who had more than doubled their companies’ profits in five years had an average score of 12.8.

Those who had not met this criteria scored an average of 8.3, well below what they should have achieved even on a random basis.

To give one striking example of the difference between the two groups:

Over a five year period, one president had increased his company’s annual profit from $1.3 million to $19.4 million. His test score: 16.

Another had been able to increase his profit by only $374,000. His score: Eight.

A third group of presidents, 41 members of the Steel Distributors Association, participated in an experiment done at the Princess Hotel inAcapulco,Mexico. Of the 41, 11qualified for the category of “company president of at least five years of tenure.” Of the 11, nine had at least doubled their company profits over the last five years. Eight of the nine scored above chance. Their average was 11.44 percent. The remaining two presidents who had not at least doubled their company profits averaged 9.5 percent, with both scoring at chance or less.

The fourth group was composed of 20 Canadians. Of the 20, six “qualified” as company presidents who had been on the job for at least five years. Five of the six at least doubled the profits, while one fell in to the 50 to 95 percent improvement class. Of the five doublers, three scored above chance, while the other two were below chance. The sixth person scored at chance level.

Here is a summary of the results of the four groups:

 

PRESIDENT’S SCORES

Percent increase in profits over the last five years

Increase: Above Chance Chance Below Chance
Greater than 100% 81.5% 25% 27.3%
50% to 99% 18.5% 50% 18.2%
Below 50% 0% 25% 54.5%

This finding has interesting implications for selection of executives for the “top spot.”

Given a group of people who have the usual traits needed for such a position, which one should be selected?

This author feels that it should be the person with the extra something, in this case the ability to make good decisions under conditions of uncertainty.

In the groups of presidents who were tested, had the selection been made on the basis of their scores, there would have been an 81.5 percent chance of choosing a person who at least doubled the company profits, while if a below chance scorer had been chosen, there would have been only a 27.3 percent chance of choosing a person who would have doubled the company profits.

The engineer and problem solving

     The function of the engineer is to solve problems. To do this, he must come up with ideas that result in new methods, techniques, processes, products, or equations.

However, the engineer does not merely solve “text book” problems that call for selection of the necessary facts or formulas from the appropriate handbook. On the contrary, the vast number of problems that the engineer confronts daily are of the type that do not have just one answer. Several solutions are possible.

Logically, if the many possible alternative solutions could be generated and analyzed, an optimum, or least a satisfactory, solution would be reached.

In solving problems, the engineer will also have to delve into areas beyond the confines of established technical knowledge. The engineer has to consider variability and uncertainty.

In the area of Risk Decision Analysis, the Department of Defense has studied the facets of uncertainty and come up with a breakdown of uncertainty into “known unknowns,” where you are aware of your areas of uncertainty, and “unknown unknowns,” where you are not aware of your areas of uncertainty.

The engineer has to deal with these uncertainties, when designing a product for future use, where the characteristics of the user and the environment may only be guessed at. In addition the engineer has to deal with these uncertainties when making decisions as to which alternative to pursue. Should method A be chosen over method B? Is material A better than material B? Which of several possible product developments should time and effort be spent on?

A large west coast based electronics company founder recently related to the author how he decided to “go” with a newly developed product, still in its infancy, contrary to the advice of five experts, and of his partner, who, as a result, left him; and he succeeded in building a multi-million dollar corporation around the device.

The variability, uncertainty, and diversity of the components of a technical problem can easily upset the most painstaking engineering calculations.

Besides technical know-how, the engineer has also to have what is usually called engineering judgment.

___________________


 

 

 

THE REALITY OF SUCCESS

APAKAH  ARTINYA  KEBERHASILAN  YANG  OPTIMAL ? 

INILAH  PERUMUSAN  HAKIKI

 

Sejak manusia di-Ciptakan pada planit BUMI, pengertian mengenai keberhasilan atau SUKSES pasti masih diselubungi oleh persepsi yang makin SEMU. Pengukuran dari kenyataannya banyak yang tidak mapan dan sesuai dengan arti yang HAKIKI. Masih banyak diantara kita yang memandangnya dari segi MATERI dan kurang memberikan BOBOT kepada yang NON-MATERTI.

 

Penghargaan dipusatkan kepada imbalan materi, karena hal itulah yang masih menjadi tolok ukurnya. Arti dari kata-kata seperti MORAL, ETIK, ANGGUN dan lainnya yang merupakan sifat-sifat IDEALISTIS, yang pada hakekatnya dipunyai kita semua pada AWAL INDUKSI PENDIDIKAN, sudah lama ter-pojok oleh nuansa harga materi yang membawakan kedudukan sosial diatas yang kurang berada.

 

Kepincangan dari keseimbangan yang nyatanya sudah diketahui, tapi tidak diterima sebagai sesuatu yang memang seharusnya dipertimbangkan, kita sembunyikan dibelakang “show off”, serta tindakan yang di-expose atau di-pertonton-kan seakan kita sudah memberikan perhatian kepada lingkungan yang memang ketinggalan didalam kedudukan sosial.

 

Bila dipertanyakan, siapakah yang harus memperhatikan situasi seperti itu, sudah tentu ada tanggapan berbagai bentuk persepsi, yang akhirnya tidak bisa terjawab dengan jujur dan tuntas. Sebenarnya TAKDIR dari pen-Ciptaan YANG PALING BERKUASA, telah ada didalam penentuan URUT-DUDUK atau hirarkhi bagi masing-masing kita. Hal itu didasarkan atas adanya BAKAT yang telah di-program dengan cara diluar kemampuan manusia.

 

Bakat atau Talenta inilah yang menentukan adanya urut-duduk yang terjalin didalam takdir tadi. Pada artikel-artikel sebelum ini, telah penulis singgung serta uraiakan dan sering pula diutarakan pada ceramah-ceramah serta seminar yang penulis laksanakan atas undangan dari banyak pihak. Masih banyak diantara kita yang masih belum memahami benar arti dari KODRAT, TAKDIR serta NASIB yang telah dijelaskan didalam beberapa artikel.

 

Hal itu dapat dibaca kembali melalui pencarian pada arsip dari web indosiar dot com yang menyangkut artikel-artikel MAGIC BRAIN. Kini penulis akan membahas mengenai arti dari SUKSES atau KEBERHASILAN yang HAKIKI. Tidak banyak orang yang penulis jumpai dengan pengertian yang hakiki tersebut. Kabanyakan pasti cenderung kepada penilaian yang didukung oleh materi, yang berada di LUAR diri kita. Didalam suatu diskusi pada ceramah mengenai Metode Silva pandangan yang berbeda itu nampak sekali.

 

Hal itu telah merupakan suatu kebiasaan yang sudah sangat melekat pada banyak orang, sehingga untuk melepaskannya tidak akan mudah, memerlukan usaha yang tidak enteng. Banyak diantara kita yang masih terjebak didalam suatu kebiasaan yang demikian mantapnya. Berpindah kebiasaan, apalagi yang telah menjadi program sehari-hari yang memberikan kita sedikit kenyamanan, sekalipun tidak tuntas, sudah juga sulit untuk merubahnya.

 

Marilah kini penulis berikan unsur-unsur hakiki yang merupakan SUKSES yang paling OPTIMAL dan mempunyai pondasi yang kokoh sekali. Hal yang dikemukakan itu dapat diuji pada kenyataan, yang mungkin saja sampai saat ini belum menjadi sesuatu yang mudah diterima.

 

ARTI  SUKSES  HAKIKI

 

  1.  Kesehatan  tuntas.

 

Tanpa adanya kesehatan yang optimal, kita tidak akan dapat memenuhi pekerjaan serta usaha apapun yang memerlukan fokus seratus persen, tanpa dapat diganggu oleh berbagai macam pengaruh provokatif. Pusat Pikir tak bakal CERAH.

 

  1. Terhindar dari kecelakaan apapun, berat maupun ringan.

 

Karena mempunyai kesehatan tuntas itu, maka kewaspadaan akan tinggi, sehingga mempunyai kepekaan untuk mendeteksi adanya gangguan FISIK dalam perjalanan ataupun dirumah.

 

  1. Kepekaan intuitif akan selalu membawakan keuntungan.

 

Keuntungan demi keuntungan dalam bidang apapun akan membawakan kesejahteraan pada diri kita serta sesama kita.

 

  1. Apapun disekeliling kita, akan ditanggapi TANPA ANALISA.

 

Otak bagian Kiri didalam menanggapi apa saja, akan selalu mengadakan analisa terlebih dahulu, kemudian akan melaksanakan berbagai macam perhitungan, menseleksi pencarian alternatif dengan cara yang rasional dan logis.

 

Otak bagian Kanan, akan selalu cepat tanggap tanpa banyak pikir, karena pandangan yang sangat LUAS tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Deteksi getaran melalui kepekaan intuitif.

 

  1. Tidur dengan kewaspadaan ALPHA OPTIMAL.

 

Kondisi tidur kita akan berubah TOTAL, karena adanya gabungan teknik-tenik yang dinamakan “Paket Tidur”. Tidur akan RINGAN, tapi tetap sehat serta melancarkan proses pelestarian dari kondisi kesehatan Tubuh. Tidur yang OPTIMAL berada pada kondisi 10 Hertz. Tiga sampai Empat jam sudah cukup untuk mencapai kondisi optimal tersebut, dan akan memberikan kita kesegaran TOTAL (100%) selama dua belas jam AKTIF !

 

  1. Mudah me-NYESUAIKAN diri dalam situasi apapun.

 

Dimana pun kita berada, kita akan selalu mudah menyesuaikan diri, tanpa banyak pemikiran yang mengganggu perasaan kita., tanpa punya rasa malu, gugup, enggan dan lain sebagainya. Tak akan ada gangguan lagi dalam merasa diri NYAMAN dan TENTRAM.

 

  1. Penyelesaian  masalah didalam MIMPI.

 

Melalui paket tidur terkendali. dapat membawa masalah pada saat kita istirahat tuntas, alias TIDUR. Segala bentuk masalah dapat dibawa kedalam tidur melalui tahap-tahapannya. Hal ini merupakan kenyataan yang dipantau didalam riset dengan jangka waktu yang panjang, sampai duapuluh dua tahun.

 

    8.Sepanjang hari punya produktivitas yang OPTIMAL.

 

Adanya pengendalian dari NIRSADAR, kita akan selalu mendapatkan kesegaran tuntas, sehingga kecerahan berpikir akan memberikan kita dukungan untuk mencapai kesuksesan setiap harinya.

 

  1. Intuisi yang PEKA akan selalu mengiringi keputusan apapun.

 

Didalam melaksanakan suatu keputusan yang akan diikuti dengan tindakan, biasanya kita akan banyak menghadapi pilihan. Kepekaan INTUITIF-lah yang akan menunjang kita didalam hal ini, yang PASTI dapat diandalkan serta menjadi suatu KEBIASAAN.

 

10. Adanya kepekaan, mudah me-IMAJINASI-kan MASA DEPAN.

 

    Nirsadar yang terkendali membawakan penglihatan tuntas serta luas, sehingga terjadi tangkapan getaran-getaran yang bersangkutan dengan MASA DEPAN atau FUTURE. Adanya masa depan yang menyangkut pada kesempatan yang berada pada KODRAT.

 

  1. Mempengaruhi lingkungan  dengan AURA KITA.

    

     Pengaruh dari getaran-getaran Aura yang mempesonakan akan memberikan kepercayaan besar didalam mengutarakan sesuatu.

    

     Pengaruh tidak dibatasi oleh kondisi fisik, tapi akan tetap dapat digunakan pada saat orang sedang tidur pulas. Getaran Nirsadar yang dikendalikan dapat menghubungi orang tidur dan akan dapat mempengaruhinya melalui subliminasi program yang hanya positif saja.

 

12. Kondisi subyektif akan menolak getaran penyerangan.

 

      Hubungan subyektif akan terdapat dimana saja kita berada. Hal ini akan melindungi kita dari segala malapetaka serangan-serangan  yang terjadi, yang akan selalu melalui cetusan pikiran dahulu, dan akan ditangkap sebelum ditindakan.

        

  1. Intuisi peka akan membawakan hubungan SUBYEKTIF.

 

Berhubungan serta berkomunikasi dengan dimensi SUBYEKTIF akan menjadi suatu kebiasaan yang langgeng. Dengan demikian segala sesuatu bagi kita akan mudah dikenal tanpa ANALISA lagi. Yang akan berperan disini adalah fungsi dari Otak bagian Kanan !

 

Begitulah pedoman yang menyangkut ‘sukses’ atau keberhasilan dari suatu penyelidikan ilmiah yang dilaksanakan oleh team riset dari DR. Jose Silva.

 

Apakah lalu kita begitu saja meremehkan suatu penemuan yang telah dilaksanakan dengan investasi tinggi dengan mengadakan uji coba pada banyak orang, situasi dan dalam waktu yang lama ? Dalam segala sesuatu yang ditemukan secara pendekatan FISIK kita mudah menerimanya, sekalipun disana-sini masih terdapat keadaan yang kurang mantap, bukankah demikian kenyataannya ?

 

Penulis mengajak para pembaca untuk me-NYIKAPI apa yang telah dibentangkan ini dengan pemikiran terbuka tanpa ada suatu prasangka, yang termasuk kebiasaan dari fungsinya Otak bagian Kiri.

Tenangkanlah kondisi mental dan tubuh Anda, sehingga masukan yang diberikan itu akan dapat direkam dengan mendalam pada neuron-neuron Pusat Pikir.

 

Demikian Kenyataannya.

_____________

        

NEW SCIENCE PSYCHORIENTOLOGY

SILVA METHODINDONESIA

New Science Offers Help for Humanity

genius n. A person who has extraordinary intelligence surpassing
that of most intellectually superior individuals.

By DR.  José Silva

Contemplate and meditate on where humanity stands today on this planet. You will readily see that the human race is going in a demoralizing, degenerative, destructive direction. If not corrected, this can only end in disaster. Indicators indicate that:

  • Crime is getting worse all the time, everywhere.
  • Drug trafficking is causing great human suffering, and increased violence and killing.
  • Water and air pollution are ruining our planet, our home.
  • Many individuals are discouraged and no longer even try to lead productive, creative lives.
  • Teenage pregnancy, especially to those who are not ready to be parents, is creating a whole underclass that is not functioning creatively and productively.
  • Global unrest continues to increase.
  • Many nations are going bankrupt.

Wars are being fought over who gets a piece of land, how a person should worship, and for selfish economic reasons. This stressful situation is bound to shorten the life span of the human race. Well, that’s the “blue framed” (negative) image. Now that we’ve identified the problem, the next questions is:

“Why do we have all of these problems?”

Who’s in charge here?

Studying and contemplating this situation at a deep meditative level, we are led back to one answer: Human intelligence. Human beings are the caretakers of the planet. This is our assignment. If we fail to do our job, we will destroy ourselves.
It appears that we have reached a saturation point in our intellectual growth.
Even the “intellectually superior individuals” seem to be unable to find solutions and to correct the problems that plague us today.
If our intellectual capabilities are saturated, then what are we to do?
Is there any solution?
Is there some way that we can surpass the intellectual saturation of the intellectually superior individuals so that we can come up with creative new ways to deal with our problems?
To do this, we cannot depend on just a few individuals. Everybody would have to develop additional mental faculties. How can people acquire additional mental faculties?
The answer to that lies in the way the human brain and mind function.

Unused potential discovered

As you know, we have spent the last 50 years studying the human brain and mind. Our investigations have revealed that 90 percent of people use only the left brain hemisphere to think with. They do both their thinking and acting with only the left brain hemisphere. This limits these people to using only logical, intellectual, objective means to correct problems. Only 10 percent of humanity think with the right brain hemisphere, and then act with the left brain hemisphere. Is there an advantage in using the right brain hemisphere to think with?

It certainly appears so. Those who do:

  • Are healthier.
  • Make fewer mistakes.
  • Have fewer accidents.
  • Are luckier.
  • Are more successful in life.
  • Are happier.

In other words, the 10 percent are classified as geniuses. They have “extraordinary intelligence surpassing that of most intellectually superior individuals.. Think of that for a moment: Not only do they have more intellectual ability than the average person, they have more intellectual ability than even the intellectually superior people. They have found a whole new dimension that they can use for problem solving, a dimension that has not been saturated but that has tremendous potential as a means of helping humanity to correct the problems that we are facing on our planet today.

Expand your intellectual capacity

Once we had identified the problem and had determined what was causing it, then the next question was: What could be done to help the 90 percent of people to become superior geniuses? We had to find a way to help the 90 percent learn to think with the right brain hemisphere and act with the left, the way the geniuses do.

It appears that the functions of the two brain hemispheres are specialized , they have different tasks to perform. Common sense tells us that there must be a reason for this, and the reason must be to allow one hemisphere to specialize in thinking and the other to be used in taking action. Since most people are doing their thinking with the hemisphere that was not designed for thinking, but was designed for putting our thoughts into action  “the left brain hemisphere “ they have saturated the left brain hemisphere and have been stymied. Biologically, people use both brain hemispheres: The left brain hemisphere controls sensory and motor nerves on the right side of the body while the right hemisphere controls the left side of the body. But when it comes to intellectual abilities, people are using only half a brain, and they are using the least suitable half. No wonder they have become saturated, and everything is now going in the wrong direction.

How to get along better

Those who think and act with only the left brain hemisphere get sick more often with psychosomatic health problems. They are more accident prone. They make more mistakes. They are less successful in life. When people think with the right brain hemisphere and act with the left, the results are just the opposite: They are healthier, less accident prone, make fewer mistakes, and are more successful in life. When the 90 percent think with the left hemisphere, and act with it also, their brain frequency is centered at 20 cycles per second (c.p.s.), called the “Beta” frequency. But for the 10 percent who think with the right brain hemisphere, their brain frequency is centered at 10 c.p.s., called “Alpha.” Then when they act, their brain frequency is centered at 20 c.p.s. beta. It appears that for people to be healthier, happier, and more successful in life, and to make correct decisions more often than not, they need to learn how to think with the right hemisphere, at alpha, and then to act with the left hemisphere, at beta. When people do this, they will make the correct decisions to help solve problems. They will come up with creative ideas so that they will gain while helping other people to also gain, rather than gain at other people’s loss, as so many are doing now. When people are centered at 10 cycles alpha, they can find ways to get everything that they need without taking anything away from anyone else, without hurting anybody. Nobody loses; everybody gains. But that does not happen with left brain thinking, only with right brain thinking. It has been said that we prey on each other at beta, while we pray for each other at alpha.

A new field of science

Our research lead us to develop a method of training the 90 percent who now use only the left brain hemisphere to think with, so that they will be able to use their right brain hemisphere to think with, just as the natural geniuses on the planet do. This has created a whole new field of science called “Psychorientology”. The Silva Method is a product of this research, a product of psychorientology. Over the last 30 years, the Silva Method has helped millions of people learn to think with the right brain hemisphere and act with the left.

Many benefits

People who practice entering the alpha level, where they can think and make decisions and come up with ideas with the use of the right brain hemisphere, receive many benefits. They are:

  • Healthier.
  • Luckier.
  • Better decision makers.
  • More successful.
  • Happier.

When you begin to think at the alpha level, with the right brain hemisphere, you gain insight and understanding about many things, such as why we were sent here. From the alpha dimension, we can understand that the reason we human beings were sent to planet earth is to improve conditions here. But we have not been doing that. We now know that the reason that our problems are growing faster than our solutions, is that 90 percent of people are thinking at the wrong brain frequency. The correction for this problem is simple: Begin using the correct frequency for acting…the beta frequency, and the correct frequency for thinking…the alpha frequency. This discovery compares with the discovery made in radio communications many years ago. Broadcast stations had saturated what is called the a.m. (amplitude modulation) band with stations. This led to the discovery of another dimension, the f.m. (frequency modulation) band. And as you know from turning on your radio, you get less static and superior high fidelity reception on the new f.m. band. Right brain thinking is a superior band for thinking:

  • It changes the sub-conscious into an inner-conscious level. This allows people to also use the information stored in the subconscious, consciously.
  • Right brain thinking “ through intuition (ESP) “, connects us mentally with all information on this planet, so that we can use this information to correct problems.
  • It also connects us with higher intelligence, so that we can get the guidance and help that we need.

Once people begin using the right brain hemisphere to think with, they will then start to comply with the mission assigned to them, which is to improve living conditions on planet earth.

Everybody can be a winner

This can happen when we gain by helping others to gain, and gain while helping the planet to gain. In order to do this, all material gains are to be used to help us better carry out our mission here on earth. Remember, we come here with nothing, and when we leave here, we return to wherever we came from with nothing. So do not ask for more than what you need; but do ask for no less than what you need. Besides helping themselves, graduates of the Silva Method are also directly obligated to help improve conditions on the planet by promoting the new science of psychorientology. When they introduce people to the Silva Method “ a product of the science of psychorientology “ they are helping many individuals to comply with their mission.

Thus, Silva Method graduates are actually taking part in “The second phase of human evolution on this planet.”.

This is a highly responsible assignment. We say: Congratulations and thank you to all of you who are helping in this movement, and also helping other people to accomplish their mission on planet earth.

A comment on Silvas message:

Dr. Jose Silva  was the only “lay scientist” who has the confidence to find out, that by using “subjective communication” could support the human mind into an era that was previously impossible to be true. This invention could make the second phase of human evolution a successful event not to be neglected and/or ignored. It will influence all negative train of thoughts that could come up as an uncontrolable upheavel of unbalanced mind management.

As one of his righthands (appr.700 for the whole world), as a lecturer of his self control method we must harness a believing system, that is very important to grow up as a positive human being, in order to cope with the enormous crucial problems we have to face in this actually wonderfull world. We will be able to solve and handle such problems effectively by using our Right Brain Hemisphere potential consciously.

Every nation and subsequent leaders has to learn how to function effectively by using the important balance to think with in form of an integration of right and left brain hemispheres.

When every individual at all social, intelectual and intelligent levels are knowing the inner self  better by atmitting that the Almighty has created us to be “World Problem Solvers”, I’m convinced that Jose’s idea of a “World Paradise” will not only be an illusion. It could happen by serious efforts of all human beings to direct their minds  positively.

And.This Will be  So !

Sunday, February 7th,1999

With the compliments of  Rd.Lasmono Dyar, DSI.,Ph.D.,Psy.

____________________

 

 

 

THE SILVA METHOD IN INDONESIA

THE SILVA SYSTEM ININDONESIA. 1

 
  The Silva system, Psychorientology  has been introduced to the public in 1966 going through a research period of 22 years as from 1944 on invented by DR.Jose Silva. As a ‘lay scientist’ he leds ‘super intelectual participants’ with a high ‘intelligent’ performance as admitted by his counterparts.

Silva has such a wide vision of things that evolves at another dimension and not recognized by his supporters. Other scientists in the field of ‘Mind Research’ couldn’t be compared as such with what Jose has done in expressing his feelings through ‘sensitive intuition’ that has made the direction of the invention that develops a self esteem attitude at high level.

DR.Wilfred Hahn was one of the scientist who has trust in Jose’s visions and supported him while recruiting other scientists in helping to reach Jose’s goal. There’re not many ‘lay scientists’ in this world who could reach such a height like Silva does. In fact this invention has stimulate other scientists who’re eager to know exactly what has been invented by Jose Silva by doing ‘innovations’ but not ‘inventions. The main thing what Silva has done with his research is to place the ‘Psycho’ or Mind on the right track as to balance the entire realm, meaning the integrated function of conscious and sub-conscious plane, so to say, the ‘objective’ and ‘subjective’ plane that resides in our brain as a  very important component of our body.

It’s obvious how men was limited in their function how to actually perform by using only the <Left Brain Hemisphere> side to think with and to act simultaneously. Such a function will saturate said Brain and will limit any vision with regard of future information that still is at a dimension called <Subjective> and not existing yet at the <objective> dimension. Those information that has not been available to the ‘physical senses’.  As a matter of fact we’ve also senses that resides within our sub-conscious, meaning the non-physical senses, but never used as such, since at that region we’re sleeping to gain refressing condition of our well-being.
But according to findings that research has revealed in ordinary rest through fast sleeping performiance without any ‘control’ whatsoever, couldn’t gave us the ‘Optimal’ result of a one hundred percent productive performance in our daily use of Mind and Body. The Silva System could guarantee, that with a controlled sleep, we’ll gain such a result. As factually proved, when we sleep at an ordinary way, we couldn’t maintain an optimal condition throughout, let’s say twelf hours a day. Our productivity is maximal four hours that drastically will lessen after intensively working for eight hours. This will make an average of only twenty to thirty percent of our productivity during twelf hours. What could be expected at such a height when we must reach a one hundred percent of productivity for twelf hours and maybe more?

Of the twenty four hours a day, six whole hours will be ‘unproductive’ for things like going to the shower, breakfast, lunch, dinner, on the way to and from the working place, taking chats and so on. And when we are exhausted and need to have a deep sleep, for a lot of people, a six hour sleep isn’t enough. So, what could we actually do with four hours of high productivity to fill a whole twelf hours of the day ? There’re of course individuals who could work for over twelf hours but they’ll make themselves vulnerable for high stress conditions, that’s for sure! And making mistakes and vulnerable for accidents. This is the situation we’re facing in this hectic world over so many times and that’s why a lot of people couldn’t solve problems adequately.

We need productivity desperately to manage and maintain our life that should be as healthy as we could handle it. This stress problem has been ignored so far and most people doesn’t know that they’re at a stress condition, because they’ve been living with it and has made it like a habit. Believe me, when we’re at such a condition, in fact not any drug could help suffiently. Only a deep relaxing condition could be able to help in this situation, that unfortunately has to be faced every day. There are individuals who’ll laugh about this information. Let them laugh as they like, but when they come to be stucked in their performance and suffering sickness, they’ll be depending on help from others…health specialists, drugs and so on. Are you such an individual? Be aware of stress, it will shorten the lifespan of the human race.

A controlled sleep means, that when we come into a low frequency of beneath the 14 Hertz of Alpha to 7 Hertz, we feel already the kind of body relaxing and stressing thoughts that’ll leave our Mind slowly. We’re at that moment in the pre-sleep condition. Research of sleep has revealed that it’ll have a cyclus of ninety minutes or one and half an hour, going from said pre-sleep to a sleep- and deep-sleep- condition. Scientifically spoken, going from the Alpha- into the Theta- (7 – 4 Hertz) and Delta- (4 – 0,5 Hertz) condition. Then, passing by at Alpha for several seconds, or with a controlled sleep for 5 minutes and going again through the second cyclus of one and half an hour and so on. So, in a six hour sleep we could have a summery of twenty minutes of Alpha. Even at a three hour sleep we have enough of an Alpha condition i.e. ten minutes. This will supply us with a productivity of over twelf hours mentioned above.

Are you willing to have a high level of productivity? Well, the Silva System is there for you, for your benefit of health, happiness, comfortability and all of the good things that could be obtained in any success performance. At such a Mind condition it’ll be very easy to maintain PEACE!

More later.
Rd.Lasmono Abdulrify Dyar,Ir.IT.PhD,Psy

Lecturer/Trainer of Psychorientology

for the Indonesian region since 1983

untill at present.

 

Writer at www.indosiar.com/kolom

since year 2000 untill at present.

Discontinued from the beginning of this year. Other article could be read at http://www.lasabdyar.wordpress.com

NKRI HARUS DIPERTAHANKAN MATI-MATI-AN

WASPADAI KELOMPOK YANG INGIN MERUBAH KONSTITUSI

DAN MENGUASAI HALUAN  N K R I

 

Manusia “Otak Kiri” telah membawa dunia kejalan yang sesat dan menjauhkan diri dari ketentuan serta keteraturan dari keinginan Yang Maha Berkuasa yang dijaga melalui Hukum Timbal Balik Alam. Pikiran-pikiran menyesatkan, kini telah melanda dunia yang penuh dengan hal-hal yang hanya dapat medukung kehidupan fisik yang pendek saja. Kehidupan spiritual dengan segala kepositifannya serta keasliannya telah dikembangkan melalui pendukungan materi yang kelihatan mengatur nilai dan norma yang mulai kabur dalam hal moral, dan tak dapat diandalkan lagi.

 

Semua kegiatan dan penemuan yang tidak diisi serta didukung dengan kebijakan spiritual, tidak akan mampu menghadang segala bentuk penyalah gunaan dari suatu bentuk bahan yang sedang sangat digandrungi benar dengan bentuk sederhana, yaitu “kertas”, dengan mutu tertentu, yang dicetak dengan tulisan angka-angka menurut nilai kegunaannya. Kertas itu dikenal dengan nama “money”, atau uang, duit, fulus, pitih dan lain sebagainya, tapi sangat mempengaruhi kehidupan manusia yang begitu lemah menghadapinya.

 

Mungkin, mereka yang tidak dapat mengendalikan nafsu untuk selalu ingin berlebihan dalam meraih “kekayaan”, yang kebanyakan dari tujuannya tidak lain, untuk melampiaskan nafsu dalam penggunaannya untuk mencapai kepuasan yang terbatas dari dimensi obyektif, belum mengetahui, bahwa penciptanya uang itu mempunyai maksud untuk dapat mempermudah perhitungan nilai dalam tukar menukar penggunaan akan kebutuhan barang dan jasa.

 

Pada mulanya, menentukan suatu nilai tukar  dilaksanakan dengan “barter” yang mana tidak dengan mudah ditemukan penyesuaian yang tepat, karena tiada pedoman yang pasti yang dapat dilengketkan kepada suatu nilai bahan. Pada mulanya pula, membuat uang, didasarkan atas penilaian suatu bahan pendukung, dimana “emas” mempuanyai peran yang sangat berarti dan selalu dapat diandalkan. Kepercyaan kepada nilai emas (sebagai nilai pengganti) itulah yang mendukung kepercayaan terhadap nilai angka yang dicetak pada uang kertas.

 

Akhirnya, bila kebutuhannya akan melebihi nilai pengganti, maka dengan mudah saja, atas suatu kesepakatan, nilai angka yang dicetakan pada kertas dapat dirubah. Pengubahan itu tidak menjamin, bahwa nilai cetak angka akan sesuai juga dengan dukungan emas atau bahan pengganti lainnya, yang telah menjadi kesepakatan. Kemudian, manusia-manusia yang bernafsu untuk mengejar kekayaan secara “tidak wajar”, hanya untuk tujuan berfoya-foya dan kepentingan pribadi saja.Adasaja orang-orang yang mulai memikirkan jalan pintas untuk mendapatkan uang melalui pemalsuan uang dengan segala caranya.Adayang telah mendapatkannya melalui cara-cara “kriminal”, lalu dicoba dengan jalan “pemutihan” uang tersebut. Hal itu dilaksanakan, karena menciptakan uang palsu akan jauh lebih mudah dan murah bila dibandingkan memalsukan bahan dukungannya seperti emas atau bahan lain yang alami.

 

Disinilah terdapat bukt-bukti, bahwa kebanyakan manusia tidak mampu untuk mengendalikan nafsunya Itulah riwayat terjadinya banyak penyalah gunaan dari uang tersebut, yang kemudian masuk “babak penyuapan” dalam cara-cara penekanan pada “bidang politik”. ManusiaIndonesia, memang belum matang dalam menanggulangi tujuan serta penggunaan uang yang dikumpulkan dengan cara-cara yang negatif. Apalagi menjaga penyalah gunaannya kearah negatif tersebut.

 

DR.Jose Silva telah menemukan jawaban dari penggunaan harta itu, yang dikatakannya seperti ini:  ***Dalam mencapai harta yang pada hakekatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang “layak”, dimana definisi mengenai arti “layak” itu dapat diatur oleh kita sendiri, maka yang penting adalah penyesuaiannya kepada HTBA., atau Hukum Alam dengan timbal-baliknya. Mencukupi kebutuhan layak tersebut, wajar-wajar saja, tapi tidak diperkenankan berkelebihan serta “mengambil” haknya orang lain. Sisanya, setelah terpenuhi hidup layak yang WAJAR itu adalah, untuk memperuntukannya dalam tindakan “kesejahteraan sesama manusia” yang tidak mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan hidup yang “layak”. !***.

 

Dari pernyataan itulah, timbul niatnya untuk mencari suatu sistem yang dapat dipergunakan oleh semua manusia dalam meraih kehidupan layak dengan mengikuti ketentuan dan keteraturan HTBA. Bila hal itu belum bisa terlaksana, maka dunia akan tetap berada dalam “ke-terumbang-ambingan” antara positif dan negatif serta penyalah gunaan uang, dimana kondisi negatif akan menjadi “dominan”. Hal itu dapat tejadi, karena kelemahan dari kebanyakan manusia (90 %), yang belum dapat dilatih untuk mampu mengendalikan fungsi bawah sadarnya  atau “nirsadar secara sadar” !

 

Manusia yang mempunyai tekad bulat dalam memberikan kelayakan hidup bagi sesamanya, kini dapat dihitung dengan jari-jari kita. Dalam hal ini, memang sangat diperlukan kepekaan yang menyangkut rasa “keadilan sosial” kepada lingkungan. Pendidikan kearah itu masih sangat kurang dan belum ada suatu sistem yang khusus, dimana kebanyakan dari sistem subyektif itu, tidak mempunyai konsep jelas serta melalui penyelidikan ilmiah yang cukup panjang dan intensif. Kemudian mampu melaksanakan pengaruh tuntas yang dapat dibangkitkan melalui pendidikan subyektifnya, dimana salah satu yang paling tua serta melalui penyelidikan ilmiah yang intensif, dan yang paling terkenal saat ini, yaitu Metode Silva yang merupakan produk dari riset sains yang dinamakan Psychorientology.

 

Kelemahan manusia menghadapi arus provokasi negatif, memang belum pula ada cara yang ampuh, untuk digunakan dalam menentang hal semacam itu. Nafsu orang untuk berkuasa terhadap manusia lain, sudah ada sejak pen-Ciptaannya, baik itu dengan jalan yang kasar maupun dengan jalan yang halus. Kekasaran dilaksanakan denganbakuhantam secara fisik, dalam arti memerangi yang tidak sefaham ! Karena sudah lebih pintar, maka dilaksanakan pula penipuan verbal dengan penetrasi pola pikir yang disebut “intimidasi”.

 

Siapa yang lebih lemah, akan terkalahkan dan siapa yang kuat mentalnya, akan dikejar melalui intimidasi mental, ditakut-takuti, ditangkap, di-“brain wash” dan dibujuk melalui penyuapan dan cara-cara yang sudah melanggar “etika” serta tanpa “ukuran moral” lagi. Oleh karena itu, kita yang tidak ikut serta dalam kegiatan politik, seharusnya memupuk kekuatan mental yang akan sulit untuk diintimidasi.

 

Bahkan dengan pemupukan kekuatan “pengendalian mental” itu, kita dapat melawan arus intimidasi dari mereka yang ingin mempengaruhi kita dengan tujuan mengikuti kehendak mereka, biasanya dengan paksa dan tanpa syarat apapun. Mereka yang diberi kekuasaan melalui kesepakatan yang tertera dalam pengesahan undang-undang apapun, akan selalu berusaha mempertahankan kedudukan mereka melalui kesepakatan pembentukan undang-undang itu yang lalu dapat “direkayasa” bagi keuntungan mereka, bukan bagi keuntungan rakyat. Dalihnya adalah, supaya, memelihara ketentraman umum, kemudian dipaksakan mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati oleh kelompok-kelompok anti aspirasi rakyat dalam badan yang dinamakan “parlemen” atau “dewan perwakilan rakyat” itu.

 

Tapi, siapakah mereka dan bagaimanakah mutu pola pikir dari wakil-wakil rakyat itu ? Bagaimanakah isi jiwa mereka ? Adakah mereka itu benar-benar mewakili aspirasi yang digandrungi oleh rakyat yang secara “permainan” pula, dalam peristiwa “pemilihan umum” telah “mencoblos” kelompok-kelompok manusia yang bergabung dalam badan yang dinamakan “partai” (dari bahasa Belanda ‘partij’) ? Kemudian tidak terjamin bebas dari dukungan suatu “penyuapan” dengan uang yang tak dapat dibuktikan, tapi yang telah menjadi “rahasia umum”.

 

Suatu perumusan undang-undang yang diproses oleh dan melalui mereka yang jiwanya tidak BERSIH dan dengan sendirinya tidak JUJUR, akan pasti menelorkan ketentuan undang-undang yang nuansanya adalah bagi keuntungan yang memprosesnya dan pasti hasilnya akan tidak bersih pula, dan tidak akan menguntungkan masyarakat ! Ini merupakan tantangan bagi rakyat untuk tetap tegar dalam mempengaruhi serta menuding mereka yang dirasakan telah menyimpang dari kejujuran.

 

Sampai dimanakah ketulusan serta kejujuran mereka yang telah dipercayai melalui pemilihan umum itu ? Manusia yang tidak mempunyai kondisi “ALPHA OPTIMAL” sepanjang keadaan “bangun sadar”, tidak bisa diharapkan akan mempunyai pola pikir yang JERNIH, BERSIH dan JUJUR. Apapun kilahnya yang dikemukakan dengan berbagai macam alasan, dapat dibaca dengan jelas melalui AURA mereka, yang tidak bisa dan tak mungkin dapat ditutupi atau disembunyikan dengan cara  apapun.

 

Inilah keuntungan yang dapat diperoleh melalui suatu pelatihan dalam pengembangan kemampuan KEPEKAAN yang dapat diikuti melalui peningkatan pengendalian NIRSADAR dengan sistem Silva. Pada fraksi golongan, dimana ada juga orang-orang yang berkecimpung dalam hal ke-para-normalan, nyatanya dapat dengan mudah dilanda oleh pola pikir yang negatif. Pola Pikir yang hanya mengutamakan kepentingan sendiri dan kelompoknya saja, jauh dari aspirasi rakyat, dan makin hari akan makin dilibatkan dalam tindakan-tindakan yang ceroboh serta menyesatkan rakyatnya.

 

Itulah yang terjadi dikalangan Dewan Perwakilan Rakyat yang anggota-anggotanya kita hormati dengan cara terpaksa, bukan karena memang mereka itu harus dihormati karena pekerjaan yang dilaksanakan dengan BENAR, tanpa nuansa apapun,  untuk “mensejahterakan” kita semua “tanpa kecuali” !

 

Para pembaca yang budiman, waspadailah tindakan-tindakan para wakil rakyat, yang karena kelemahannya sebagai manusia, akan selalu rentan sekali terkena rangsangan-rangsangan EMOSI yang “sulit dinetralisir”, tanpa suatu pengendalian nirsadar tersebut. Hal ini hanya dapat diperoleh melalui pelatihan yang seksama dan jitu, dan dapat diawasi atau diikuti sebagai pengontrolan melalui peralatan” biofeedback”.

 

Pengawasan mengenai hal positif dan negatif pun, dapat dilaksanakan oleh peralatan “biofeedback” tersebut, seperti halnya dengan pengawasan yang diadakan dalam suatu Laboratorium, bila kita terkena serangan penyakit-penyakit seperti  kolesterol, diabetes, darah tinggi, darah rendah dan yang lain sebagainya. Mengapakah mental tak dapat dikontrol ? Bila ada seorang yang enggan untuk dikontrol kedudukan gelombang Otaknya, maka sudah akan jelas, bahwa ia merupakan seorang yang TIDAK BERSIH  !

 

Arus suatu pencetusan pikiran yang negatif, termasuk PENYAKIT MENTAL yang harus ditanggulangi dengan seksama dan “serius” dengan cara-cara yang modern yang dapat ditanggulangi melalui ilmu pengetahuan fisik (alat biofeedback) dan mental (sistem pendidikan subyektif). Dunia kini, sedang mengalami penyakit merosotnya norma-norma moral dan etika, dan hal itu disbebkan, karena sampai saat ini, tidak pernah DIOBATI melalui sistem pendidikan dan terapi sistem MENTAL tersebut yang dinamakan PEDIDIKAN SUBYEKTIF !

 

Demikianlah kenyataan yang dapat diambil sebagai bahan perenungan seksama.

 

Persembahan Ir.DR.Psi.Rd.Lasmono Abdulrify Dyar

 

WASPADAI MUSUH NOMOR WAHID

 

JAGALAH DIRI TERHADAP MUSUH NOMOR WAHID

S T R E S

 

Saya adalah seorang warga yang sangat prihatin terhadap segala kejadian    yang

mempunyai dampak negatif. Melihat dan mengalami itu semua, yang diikuti melalui media massa dan Televisi, rasanya seakan-akan tidak kelihatan adanya penyelesaian yang jitu. Rakyat kecil menanti-nanti adanya penyelesaian yang jitu itu. Saya dapat memahami, bagaimana sulitnya untuk dapat mengurai ibaratnya ‘benang kusut dan basah’  secara detil dari unsur2 timbulnya masalah2 yang merupakan kemelut besar. Saya juga dapat menghargai, bagaimana orang2 cerdik pandai kita, mempunyai pandangan terhadap cara2 menemukan solusi, tapi terlalu banyak yang ingin digalang, sehingga ‘they missed the point’ dan agak bersimpang siur adanya, kurang ‘sinergis’ dan berkesinambungan satu dengan yang lain.

 

Dengan segala perasaan dan ucapan hormat kepada mereka yang berkecimpung didalam pemerintahan maupun mereka yang ditunjuk untuk mencari solusi dari kemelut, sebagai warisan dari suatu pemerintahan yang salah arah pada masa lampau. Tentu, kita tidak dapat langsung memvonnis bahwa usaha untuk meratakan kemakmuran, supaya dapat dialami oleh rakyat banyak, pada permulaan pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, merupakan hal yang disengaja diarahkan kepada yang negatif. Menurut tanggapan saya dari berita2 yang saya baca dari media massa diluar negeri, saat itu saya memang berdomisili di Eropa, ‘at least’ ada usaha kearah itu yang tentu merupakan berita menggembirakan.

 

Saya banyak mendengar cerita2 yang positif, tapi justru di’kontra’ dengan cerita2 yang lebih banyak negatifnya. Hal itu menyangkut akhlak dari mereka yang sedang berkuasa yang dengan sendirinya kurang saya dapat percayai pada mulanya, kalau belum dihadapkan sendiri pada kenyataan. Untuk diketahui, saya meninggalkan Indonesia pada saat Bapak Soekarno sedang menggalang untuk membentuk bangsa Indonesia supaya dikenal sebagai bangsa yang besar oleh dunia Internasional. Sekalipun pada saat itu Bung Karno terasa agak kelewat batas dengan mengkonfrontasi Malaysia serta mengundurkan diri dari Perserikatan Bangsa2 dan menyatakan ‘Go to Hell with Amerca’. Saat itu, dimana saya sedang menikmati bea siswa dari Unesco dalam mengikuti ilmu pengetahuan ‘The Psychology of computer Sciences’ di Roma, mengalami pencabutan bea siswa. Beruntunglah, ketika supporter di Belanda memanggil saya untuk melanjutkan study disana, sehingga mulai saat itu saya telah menetap di Eropa dan dapat mendatangkan keluarga yang terjebak dalam peristiwa 30 September, tapi bisa lolos dari penelitiannya. Ini sedikit riwayat dari keberadaan saya diluar negeri.

 

Pengalaman saya dimanca negara memberikan suatu penglihatan yang sangat luas bagaimana menangkap suatu kejadian bila dipandang dari sudut kedalaman ‘subyektif’, yang artinya bahwa segala sesuatu yang ditimbulkan atau dicetuskan pikiran serta di-‘kelola’ didalam diri kita melalui ‘mind’ atau ‘alam pikir’, merupakan ‘sumber’ dari adanya pencetusan tadi. Dengan ini, saya ingin menjelaskan, bahwa apapun yang ditangkap oleh indra2, terutama penglihatan dan pendengaran, akan selalu direkam pada bagian2 neuron pada sel otak yang sedang pada kondisi tingkatan kesadaran. Tanggapan ini merupakan perkembangan dan penemuan dari penyelidikan2 mengenai bagaimana pada hakekatnya otak itu bekerja atau mewujudkan fungsinya.

 

Ternyata bahwa otak kita terbagi atas dua bagian yang mempunyai perbedaan besar didalam berfungsi. Otak bagian Kiri, hanya dapat melaksanakan fungsinya bila ada kondisi ‘bangun sadar’, yang dibagi lagi atas tingkatan kesantaian, mulai dari gelombang 14 Hertz (gelombang per detik diukur dengan alat EEG) sampai dengan 20 Hertz. Lalu disusul dengan tingkatan keaktifan, yaitu mulai 20 Hertz tadi sampai dengan 24 Hertz. Didalam keaktifan itu, kita akan banyak mengalami, antara lain, kontroversi dari suatu tujuan yang telah direncanakan.

 

Hal itu merupakan hadangan yang harus dapat disingkirkan, bila ingin mencapai tujuan yang optimal. Cara yang biasa adalah melalui analisa, perhitungan dan seleksi  mencari alternatif-alternatif yang ditanggapi mampu memenuhi persyaratan. Hal seperti itu dapat berlanjut dengan mudah atau dengan perhitungan dan analisa yang sulit. Waktu yang diperlukan untuk penyelesaian hadangan itu, akan menimbulkan desakan tekanan pada neuron2 otak Kiri dengan akibat adanya ‘frustrasi’. Hal itu akan meningkatkan gelombang dari 24 Hertz tadi mengarah kepada frekuenai gelombang yang lebih tinggi.

 

Disitu kita akan menimbulkan perasaan yang kurang ‘nyaman’ (comfortable) pada diri kita yang akan mengadakan perobahan pada keteraturan ‘metabolisme’ kita. Perobahan keteraturan itu akan mempunyai dampak pada bekerjanya organ2 tubuh secara optimal. Dan hal itu pasti akan juga menimbulkan perasaan2 yang tadinya santai dan aktif. Bila kondisi seperti itu tidak ditanggulangi dengan tepat, maka akan menambah keadaan frustrasi mencapai tingkatan stres. Dalam memonitoring atau memantau kondisi itu kita akan melihat adanya gelombang2 yang menunjukkan kondisi tadi, akan mengarah kepada 40 Hertz dan bisa saja akan lebih tinggi lagi.

 

Stres merupakan kondisi yang tidak mudah dideteksi hanya melalui perasaan saja. Tapi, biasanya secara fisik dapat tampak, bila misalnya gairah kerja mulai menurun. Kita dapat merasakan kekurangan tenaga, baik itu yang menyangkut fisik (tubuh), maupun mental (pikiran). Karena gejala stres tidak mudah diketahui, bahkan, didalam kondisi stres itu ada yang masih mempunyai humor serta berkelakar, maka bila ada suatu serangan mendadak dari penglihatan, keseimbangan badan dan gejala lain yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, jangan heran, bila  terjadi suatu keadaan yang tak terduga semula. Orang bisa saja langsung terkena ‘stroke’, pernapasan tersendat, jantung berdebar dengan kerasnya dan bisa saja berhenti seketika. Dalam hal terakhir disebut itu, pertolongan akan selalu datang terlambat.

 

Para pembaca tentu ingin mengetahui, bagaimana kita dapat menghindarkan diri dari gejala frustrasi dan stres. Banyak cara dilaksanakan oleh orang, mencari jalan keluar dari kondisi semacam itu. Ada yang berusaha menghindarkan diri dari ketegangan berfikir, dengan mengalihkan konsentrasi kearah yang lebih menyenangkan, misalnya, dengan bertamasya mencari lingkungan yang menunjang kesantaian. Secara ‘momen’, hal seperti itu kelihatan akan membawakan perobahan berupa kesantaian, kita merasa diri kita lebih tenang dan tentram. Apalagi bila pada saat tertentu kita dapat mengistirahatkan diri kita tanpa memikirkan hal-hal yang sedang melakukan rangsangan berupa masalah yang belum dapat diselesaikan atau dipecahkan, dengan tidur sejenak.

 

Keadaan semacam itu tidak dapat menjamin, bahwa kita mempunyai kondisi santai yang dalam dan mampu berada terus menerus didalam pendukungan alam pikir kita, yang disebut dengan kondisi ALPHA. Untuk menjelaskan hal Alpha itu, akan memakan waktu terlalu banyak. Tetapi dapat saya katakan disini, karena telah diselidiki secara ilmiah oleh pakar-pakar kesehatan, bahwa kondisi gelombang itu memberikan kita suatu kondisi yang sangat menunjang metobolisme sebagai ‘kegiatan mengatur reaksi-reaksi kimiawi yang alami’ dalam tubuh untuk keseimbangan pembagian darah keseluruh organ-organ tubuh. Frustrasi dan stres akan merusak keseimbangan itu sehingga setiap organ tidak akan berfungsi secara optimal lagi.

 

Pada hakekatnya, kita semua telah dihinggapi oleh gejala frustrasi dan stres sejak ‘mengenal’ dunia ini, yaitu pada saat masih balita. Apa penyebab dari gejala itu, tidak lain adalah, adanya ‘warisan genetik’ yang dilimpahkan oleh seorang ibu yang pada saat ia mengandung,  dapat saja dihinggapi oleh kondisi frustrasi dan stres. Penyelidikan saya sendiri melalui monitor alat ‘biofeedback’ menemukan gejala itu pada balita, yang mana ibunya ‘mengidap gejala stres’ pada saat sedang mengandung. Kemudian ia memutuskan untuk mengikuti pelatihan dari metode Silva yang membawanya pada kemampuan untuk mempengaruhi melalui ‘memprogram’ anaknya dan menetralisir kondisi stres itu. Hal itu untuk kebanyakan orang yang belum memahami kemampuan manusia, terasa aneh dan ganjil, seakan-akan tidak mungkin. Tetapi realitanya membuktikan lenyapnya stres itu dari ‘alam pikir’ sang anak.

 

Bila soal stres tadi tidak ditanggulangi sejak kecil, dibiarkan saja, karena tidak menaruh perhatian akan kesehatan mental, maka gejala itu akan berakumulasi dan menumpuk pada neuron-neuron otak. Jelas akan mengakibatkan pertumbuhan individu yang mengidap stres terus menerus. Akibatnya akan mengalami serangan penyakit psikhosomatis. Obat-obatan pun tidak secara tuntas dapat menghilangkan ‘penyakit’ itu, karena merupakan rangsangan dari luar yang akan mencoba mempengaruhi konstruksi reaksi kimia alami dalam tubuh. Sesaat dapat dirasakan perobahan, tapi hal itu tidak akan berlangsung lama, karena ‘mood’ serta ‘emosi’ setiap saat dapat merobah situasi sewaktu-waktu.

 

Jelaslah kini dapat disimpulkan, bahwa manusia harus mempunyai cara pengendalian yang tuntas untuk mengadakan netralisasi dari gejolak-gejolak mood dan emosi tadi. Emosi dipacu oleh mood, dapat diarahkan kepada hal yang memerlukan konsentrasi untuk dioperasikan mencapai tujuan yang dihendaki dan akan berhasil dengan optimal. Tanpa dikendalikan oleh kekuatan sendiri yang mempunyai sumber pendukungan dari : 1. Keinginan atau hasrat besar (desire at high end), dan 2. Keyakinan tuntas bahwa hal yang ingin dilaksanakan itu dapat berhasil ( true believe), dan akhirnya 3. Harapan harus mempunyai mutu bebas dari keraguan atau Pasti (concrete expectation). Ketiga unsur pendukung itu berlaku bagi semua bidang usaha, baik yang fisik maupan yang mental.

 

Seperti pada semua usaha, kita hendaknya mengkondisikan diri untuk menghimpun kekuatan optimal yang dikembangkan oleh pengelolaan bawah sadar. Mengapa diperlukan adanya hubungan dengan Otak bagian Kanan? Hubungan yang kini sangat didambakan dan sedang dicari ke-optimalannya melalui macam ragam bentuk sistim, hanya dapat dicapai, bila ada suatu sistim yang mempunyai konsep jelas untuk itu dan telah mempunyai riwayat penyelidikan yang cukup lama melalui banyak sekali percobaan-percobaan sampai ditemukan hasil yang ‘identik sama’ dan dengan demikian dapat didambakan serta diandalkan. Semua ilmu pengetahuan mengalami penyelidikan seperti itu. Bila sesuatu belum cukup diselidiki seperti yang dikemukakan tadi, maka tidak dapat diharapkan suatu jaminan, bahwa akan bisa bekerja dalam waktu pematangan yang telah ditentukan. Hal itu jelas merupakan dasar dari setiap penemuan yang disebut ilmu pengetahuan (scientific invention).

 

Otak bagian Kiri tidak mampu untuk bekerja secara optimal, tanpa dibantu oleh Otak bagian Kanan. Penangkapan yang luas yang difungsikan oleh otak kanan itu, merupakan dukungan ‘subyektif’ dari pelaksanaan ‘obyektif’ yang ditindakkan oleh otak kiri. Kita sering merasakan adanya hambatan-hambatan yang dijumpai pada perhitungan dan analisa mencari alternatif yang sesuai dengan pandangan kita melalui banyak perhitungan. Itu disebabkan karena fungsi otak kiri dibatasi oleh, yang dinamakan ‘ruang’ dan ’waktu’. Kepincangan befikir tak dapat kita rasakan, karena belum dapat mengawasi dengan tuntas gejala penyebabnya. Untuk itu, kini telah ada suatu sistim yang dapat di-implementasikan pada diri kita sehingga terbuka jalur kepada otak kanan, dimana seluruh fungsi yang memang khas pada otak itu dapat dimanfaatkan dan juga di-dominasikan untuk mengawasi otak kiri dalam menindakkan pengelolaan pola pikir pada kenyataan obyektif. Pola pikir yang dibentuk dengan menggunakan keseimbangan berfungsinya kedua bagian otak, yaitu kiri dan kanan, akan membawakan kebiasaan mempunyai keseimbangan ‘sentral’.

 

Menyelesaikan permasalahan harus ditanggulangi dengan suatu kemampuan yang ‘melebihi’ kekuatan masalah itu. Setiap persoalan pasti mempunyai penyelesaiannya. Tetapi bila kemampuan kita tidak melebihi kekuatan masalah, maka mustahil masalah tadi dapat dipecahkan dengan mudah dan tuntas. Ibaratnya dengan seorang ahli kesehatan (dokter), menurut penyelidikan kedokteran, penyakit yang sedang diderita oleh seorang pasien, menunjukkan keterbatasan dari deteksi penyebab penyakit itu sehingga pasiennya divonnis untuk pulang saja, karena kemampuan teknis kedokteran tidak dapat menolong untuk disembuhkan. Pasien yang tidak mau menyerah, mempunyai gairah hidup yang luar biasa, tapi harus mendapatkan pertolongan dari seseorang yang dapat mendukungnya secara mental. Dengan dukungan itu, sang pasien merasa lega dan dirinya akan terisi dengan suatu kekuatan yang mengkeseimbangkan kondisi mentalnya. Alhasil, keseimbangan mental itulah yang mengakibatkan keseimbangan kembali pada reaksi kimia tubuh sehingga semua reaksi berjalan lancar. Pasien sembuh kembali, karena tidak dapat menjelaskan kejadian itu, maka ditanggapi sebagai suatu ‘mukjizat’.

 

Akankah timbul juga ‘mujkizat’ dalam menyelesaikan kemelut yang sedang dihadapi oleh bangsa kita? Bila semua pemimpin yang berkuasa, belajar untuk mengenal kemampuan diri masing-masing, dan mempunyai KEINGINAN BESAR untuk dapat menyelesaikan masalah, kemudian YAKIN dengan TUNTAS bawah mereka akan mampu melaksanakan hal itu, dan mempunyai HARAPAN yang PASTI bahwa masalah-masalah dapat diselesaikan, maka Indonesia akan kembali berjaya, kini bukan hanya mempertahankan IDENTITAS BANGSA BESAR yang menyatukan beragam SUKU-SUKU, tapi akan dimulailah membenahi setiap masalah yang ditimbulkan dari suatu rezim lampau yang KORUP dengan cara yang CEPAT karena MAMPU, mengembalikan NAMA HARUM BANGSA yang kini terpuruk dengan tanggapan, bahwa kita merupakan BANGSA yang doyan KORUPSI.

Demikianlah Kenyataan yang menurut penulis dapat dicapai melalui bebenah DIRI SENDIRI terutama, karena merupakan SUMBER KEKACAUAN dari pengelolaan pola pikir yang telah di-BRAINWASH sekian lama sehingga terkontaminasi semua pencetusannya.

 

Itu semua tergantung dari KOMUNIKASI SUBYEKTIF, yang selalu POSITIF dan tidak dapat direkayasa, dianalisa dan dihitung-hitung. The HIGHER INTELLIGENCE akan PASTI memberikan DUKUNGANNYA, karena tujuannya adalah POSITIF tanpa perhitungan, analisa dan rekayasa.

Lain kali akan dijelaskan secara lebih detil dan agak teknis supaya kita dapat mengetahui dimana sebenarnya letak kemampuan pengendalian kita.

 

Oleh: Ir.DR.Lasmono Abdulrify Dyar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.